Pendahuluan
Krisis energi yang
melanda Indonesia dikarenakan karena jumlah penduduk yang semakin meningkat
berpengaruh langsung terhadap konsumsi bahan bakar. Energi yang berasal dari
fosil termasuk energi yang tidak dapat diperbaharui sehingga semakin menipis.
Di sisi lain, isu lingkungan global yang menuntut tingkat kualitas lingkungan
yang lebih baik, mendorong berbagai pakar energi untuk mengembangkan energi
yang lebih ramah lingkungan dan mendukung keamanan pasokan berkesinambungan.
Hidrogen sangat dimungkinkan menjadi alternatif bahan bakar masa depan. Proses
produksi hidrogen dapat dilakukan secara biologi maupun secara kimiawi. Secara
biologi (bioteknologi) adalah teknik pendayagunaan organisma hidup atau
bagiannya untuk membuat atau memodifikasi suatu produk dan meningkatkan/
memperbaiki sifat organisme untuk penggunaan dan tujuan khusus seperti untuk
pangan, farmasi dan energi (Miyamoto et al. 1997). Hal ini dilakukan Woodward
et al. 2002 dengan memproduksi hidrogen menggunakan enzim melalui jalur fosfat
pentosa dan enzim hidrogenase. Produksi hidrogen melalui fermentasi biomasa
kekayuan tropika, hidrolisis gas metana, menggunakan metanol langsung (Liu et
al. 2003). Proses fermentasi juga dilakukan Susilaningsih et al. 2008 dengan
menggunakan limbah biomasa kekayuan melalui dua langkah fermentasi, yaitu
dengan mengkombinasikan konversi monomer hasil hidrolisa limbah biomasa
kekayuan menjadi asam laktat melalui bakteri laktat (Lactobacillus sp) dan
konversi laktat menjadi hidrogen dengan menggunakan bakteri fotosintetik.
Secara kimiawi dapat melalui elektrolisis seperti yang dilaporkan Salimy &
Finahari 2008 dengan melakukan perbandingan produksi hidrogen dengan energi
nuklir untuk dua buah teknologi proses produksi hidrogen yaitu proses
elektrolisis dan steam reforming. Proses elektrolisis juga dilaporkan juga oleh
Domen & Maeda 2006 dengan produksi hidrogen melalui elektrolisis air dengan
reaksi fotokatalisis oksinitrida. Produksi hidrogen lain misalnya melalui
dekomposisi metanol dengan katalis Pt/Al2O3 (Brown & Gulari 2004). Produksi
hidrogen melalui dekomposisi metana menggunakan katalis berbasis Ni (Purwanto
et al. 2005). Produksi hidrogen berbasis nuklir dilakukan oleh Sriyono 2008 dan
Sutarno & Malik 2004 dengan menganalisis efisiensi energi nuklir dan energi
listrik pada proses produksi hidrogen dengan elektrolis air. Produksi hidrogen
secara kimiawi yang lain adalah dengan menggunakan alumunium beralkalin untuk
dijadikan fuel cell alumunium alkalinudara. Fuel cell alumunium alkalin-udara
adalah serangkaian anoda alumunium dalam larutan beralkalin dan gas oksigen
berada di katoda yang akan menghasilkan energi listrik. Fuel cell berbasis
alumunium alkalin-udara sangat ramah lingkungan karena produk sampingnya adalah
air dan bahan kimia (aluminum oksida (Al2O3) dan aluminum hidroksida Al(OH)3
yang dibutuhkan industri pemurnian air dan industri kertas serta alat-alat
elektronik (Kulakov & Ross 2007). Penelitian ini mencoba untuk memanfaatkan
limbah alumunium foil (pembungkus makanan) dan limbah kaleng minuman sebagai
sumber dari alumunium untuk produksi hidrogen. Penelusuran pustaka dan
referensi belum ditemukan laporan mengenai pemanfaatan limbah alumunium foil
dan limbah alumunium dari kaleng minuman untuk produksi gas hidrogen. Untuk
itulah dilakukan penelitian produksi gas hidrogen dari limbah alumunium foil
dengan menggunakan katalis NaOH. Produksi gas hidrogen melalaui jalur ini
selain memanfaatkan limbah di lingkungan sekitar juga merupakan energi yang
mudah dikonversikan menjadi listrik dan bahan bakar, aman untuk lingkungan,
karena tidak menyisakan limbah beracun, dan bersih, hanya air dan bahan kimia
seperti aluminum hidroksida Al(OH)3 yang dapat digunakan kembali.
Tinjauan Pustaka
Sifat
Fisik
|
|
Fase
|
gas
|
Massa jenis
|
(0 °C,
101.325 kPa)
0,08988 g/L
|
Massa jenis cairan
pada t.l.
|
0.07 (0.0763
solid)[2] g•cm−3
|
Titik lebur
|
14,01
K, −259,14 °C, −434,45 °F
|
Titik didih
|
20,28
K, −252,87 °C, −423,17 °F
|
Titik tripel
|
13,8033 K
(-259°C), 7,042 kPa
|
Titik kritis
|
32,97 K,
1,293 MPa
|
Kalor peleburan
|
(H2) 0,117
kJ•mol−1
|
Kalor penguapan
|
(H2) 0,904
kJ•mol−1
|
Kapasitas kalor
|
(H2) 28,836
J•mol−1•K−1
|
Gas
hidrogen (H2) pertama kali dihasilkan secara artifisial oleh T. Von Hohenheim
(dikenal juga sebagai Paracelsus, 1493–1541) melalui pencampuran logam dengan
asam kuat. Dia tidak menyadari bahwa gas mudah terbakar yang dihasilkan oleh
reaksi kimia ini adalah unsur kimia yang baru. Pada tahun, Robert Boyle
menemukan kembali dan mendeskripsikan reaksi antara besi dan asam yang
menghasilkan gas hidrogen. Pada tahun 1766, Henry Cavendish adalah orang yang
pertama mengenali gas hidrogen sebagai zat diskret dengan mengidentifikasikan
gas tersebut dari reaksi logam-asam sebagai "udara yang mudah
terbakar". Pada tahun 1781 dia lebih lanjut menemukan bahwa gas ini
menghasilkan air ketika dibakar. Pada tahun 1783, Antoine Lavoisier memberikan
unsur ini dengan nama hidrogen (dari Bahasa Yunani hydro yang artinya air dan genes
yang artinya membentuk) ketika dia dan Laplace mengulang kembali penemuan Cavendish
yang mengatakan pembakaran hidrogen menghasilkan air.
Hidrogen
pertama kali dicairkan oleh James Dewar pada tahun 1898 dengan menggunakan
penemuannya, guci hampa. Dia kemudian menghasilkan hidrogen padat setahun
kemudian. Deuterium ditemukan pada tahun 1931 Desember oleh Harold Urey, dan
tritium dibuat pada tahun 1934 oleh Ernest Rutherford, Mark Oliphant, and Paul
Harteck. Air berat, yang mengandung deuterium menggantikan hidrogen biasa,
ditemukan oleh Urey dkk pada tahun 1932. Salah satu dari penggunaan pertama H2
adalah untuk sinar sorot.
Balon
pertama yang diisikan dengan hidrogen diciptakan oleh Jacques Charles pada
tahun 1783. Hidrogen memberikan tenaga dorong untuk perjalanan udara yang aman
dan pada tahun 1852 Henri Giffard menciptakan kapal udara yang diangkat oleh
hidrogen. Bangsawan Jerman Ferdinand von Zeppelin mempromosikan idenya tentang
kapal udara yang diangkat dengan hidrogen dan kemudian dinamakan Zeppelin
dengan penerbangan perdana pada tahun 1900. Penerbangan yang terjadwal dimulai
pada tahun 1910 dan sampai pecahnya Perang dunia II, Zeppelin telah membawa
35.000 penumpang tanpa insiden yang serius.
Penerbangan
tanpa henti melewati samudra atlantik pertama kali dilakukan kapal udara
Britania R34 pada tahun 1919. Pelayanan penerbangan udara dipulihkan pada tahun
1920 dan penemuan cadangan helium di Amerika Serikat memberikan peluang
ditingkatkannya keamanan penerbangan, namun pemerintah Amerika Serikat menolak
menjual gas tersebut untuk digunakan dalam penerbangan. Oleh karenanya, gas H2
digunakan di pesawat Hindenburg, yang pada akhirnya meledak di langit New Jersey
pada tanggal 6 Mei 1937. Insiden ini ditayangkan secara langsung di radio dan
direkam. Banyak yang menduga terbakarnya hidrogen yang bocor sebagai akibat
insiden tersebut, namun investigasi lebih lanjut membuktikan sebab insiden
tersebut karena terbakarnya salut fabrik oleh keelektrikan statis. Walaupun
demikian, sejak itu keragu-raguan atas keamanan penggunaan hidrogen muncul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar